Menyukai Selalu Tidak Menyenangkan


Suatu ketika seorang teman mengirim message persis seperti redaksi di atas. Menyukai selalu tidak ‎menyenangkan. Saya sedikit terkejut, lalu tertawa membacanya. Sudah hampir dua tahun ‎saya berkomunikasi dengannya, tapi baru kali ini pesannya agak filosofis. Lumayan juga, hasil semedi ‎hampir seperempat abad, balas saya kemudian. Dan saya tambah terkejut setelah mendapatkan balasan darinya. ‎‎“Selalu sesederhana ini”. Hanya itu balasannya. Simpel, padat, tapi juga menohok!‎

Betulkah menyukai selalu tidak menyenangkan? Atau kita moderatkan saja, betulkah menyukai tidak ‎selalu menyenangkan? Ketika membaca sms teman di atas, ingatan saya langsung tertuju pada tesis Kho ‎Ping Hoo, sang Maestro Cerita Silat Indonesia, bahwa kebahagiaan adalah ketika kita tidak menjatuhkan ‎pilihan. Bisakah kita hidup tanpa pilihan? Tentu kita tak perlu menjawab pertanyaan itu sebagimana kita ‎tidak wajib mengikuti defenisi tersebut. ‎

Mengapa bisa demikian? Karena apapun jawaban anda tentang pertanyaan di atas, hasilnya tetap sama. ‎Bukankah sikap tidak menentukan pilihan sudah berarti memilih? Maka saya lebih suka menguliti pesan ‎teman di atas dari sudut kelahiran teks itu sendiri. Sederhananya, ungkapan tersebut tidak lahir dari ‎ruang yang hampa sejarah. Teks, selalu memiliki preseden tertentu yang melahirkannya. Dan ‎memahami sisi psikolgis teman saya adalah mutlak dibutuhkan, agar tidak terlalu mereduksi sebuah ‎persoalan.‎

Persoalan menyukai sebenarnya sangat sederhana. Saya berhak suka pada siapapun sebagimana saya ‎berhak membencinya. Tak ada syarat apapaun untuk melarang seseorang mau suka atau benci. Ia lebih ‎sebagai bentuk insting alam bawah sadar. Jadi menyukai lebih sebagai pilihan kesadaran. Orang sadar ‎menjatuhkan pilihan karena ia hidup dengan harapan. Karena espektasinya selalu membentang ke ‎depan, maka harapan hampir selalu mendatangkan optimisme dan kekahawatiran pada waktu yang ‎bersamaan. ‎

Teman saya ini sadar betul bahwa hukum di atas berlaku rata dan sama, termasuk untuk dirinya. Maka ‎sejak awal ia berpikir lebih baik tidak menyukai, karena alternative terakhir pasti tersakiti. Tapi justru ‎tidak menentukan "pilihan menyukai", ia tetap sakit hati. Dari situlah ia menyimpulkan bahwa menyukai, selalu tidak menyenangkan karena ia akan membwa pada penderitaan berkepanjangan.

Begitulah. Sedikit cerita "menyukai" versi teman saya ini. Lalu bagimanakah dengan sobat sekalian?

Post a Comment

Previous Post Next Post