Oleh: Bahauddin Amyasi
Jika Edmund Husserl, pendiri filsafat fenomenologi itu mengatakan bahwa esensi waktu adalah kesadaran dan esensi kesadaran adalah waktu, maka sesungguhnya kita tak pernah benar-benar memiliki kekuatan kolektif
untuk selalu belajar pada waktu, apalagi untuk membangun ingatan kita tentang masa lalu. Memori kita seolah hidup dalam ritme tik-tok arloji yang selalu bergerak ke depan, tak pernah berputar arah. Hidup ala arloji mengandaikan apa yang ditinggalkan memang tak dilupakan, tapi sengaja ditinggalkan. Masa lalu masih ada, namun tak penting untuk selalu dibaca. Karena kita hidup dengan “pola pikir” arloji, maka kita kerap tak mampu menyimpan memori.
Ideologi arloji, hari-hari ini bisa kita temukan konteks pemaknaannya dalam kasus Ariel-Luna Maya- Cut Tari. Gambar pornoaksi mereka kini jadi menu hangat berbagai media, baik cetak maupun online. Di blog-blog, situs jejaring sosial, hampir semuanya membicarakan aksi heboh mereka yang meruncing menjadi objek diskusi, mulai para satpam di mall, tukang sapu di pasar, politisi, jagat dunia hiburan, bahkan kalangan akademisi di perguruan tinggi.
Luna Maya dan Ideologi Arloji
Tentu kita masih ingat bagimana Luna Maya marah, dan pelacur dijadikan senjata. ”Infotaiment derajatnya lebh HINA dr pd PELACUR, PEMBUNUH!!!! may ur soul burn in hell!!,” demikian bunyi tweet yang ditulis Luna. Tak puas meluapkan amarah, mantan presenter Dahsyat itu kembali menuliskan kalimat kasar di Twitternya. “Jadi bingung knp manusia skrg lbh kaya setan dibandingkan dengan setannya sendiri…apa yg disbt manusia udah jadi setan semua??” tulis Luna, kesal.
Publik terperangah. Bukan. Bukan karena Luna meluapkan geramnya pada infotainmen, melainkan diksi yang dia gunakan untuk mewakili umpatannya. Dengan pilihan farsa itu, Luna bukan saja memaki-maki infotainmen, melainkan, dan terutama, meludahi pelacur. Tak heran jika di Tegal, para pelacur pun gerah dengan umpatannya itu. Mereka melakukan aksi protes, bahkan membakar puluhan gambar Luna Maya. (Radar Tegal, Minggu, 20 Desember 2009)
Luna barangkali lupa bagaimana waktu mengajarkan pada kita bahwa dunia bukanlah Firadus, dan karena itu kita tak mampu menampik masa lalu. Dan Walter Benyamin benar ketika mengatakan itu. Masa lampau, bagi filsuf Jerman itu, bukan saja tak pernah tertinggal bahkan terus menghampiri, kadang hadir berulang. “Hanya sejarah-lah yang sesungguhnya dapat menerangkan, siapakah sesungguhnya manusia itu,” demikian dia berkata, menguatkan tesisnya tentang mazhab historisisme.
Tapi, sejarah semacam apa yang tak bisa diogahi itu? Benyamin punya jawaban: sejarah dengan kepedihan. Luna sadar apa yang menurut khlayak (diduga kuat) adalah perbuatan dirinya dengan Ariel sang vokalis Peterpan, sekitar 4 tahun yang lalu (VIVAnews, Selasa 15 Juni 2010) bukanlah penderitaan, bukan aib atau pun kesalahan. Maka wajar bila kemudian ”aksi goyangnya” akan mudah ia lupakan. Karena atraksi itu adalah pameran kesenangan, kegembiraan, kegenitan, dan juga, berahi; hal yang hanya dilakukan mereka yang lupa diri. “Sejarah yang selalu dikenang ini bukanlah sejarah yang penuh dengan romantika manis. Namun, apa yang selalu membayangi orang adalah ingatan akan penderitaan, memoria passionis.” Lanjut Benyamin.
Ketika dulu Ariel tersangkut kasus skandal dengan Sarah Amalia, ia pernah menolak bahwa Aurel bukanlah anak dari wanita yang dihamilinya itu. Tapi waktu selalu memberikan jawaban paling jujur dan apa adanya. Semuanya terkuak pasti; Ariel mengakui Aurel sebagai anak dan Sarah Amalia sebagai istri. Dan ketika fenomena Peterporn menguak kembali, kita seolah telah alpa dan memori kolektif kita terpaksa meraba, bahwa ”kisah miris” serupa pernah terjadi.
Barangkali Luna dan Ariel tak sepenuhnya salah. Mereka hanyalah represantasi masyarakat Indonesia yang menganggap skandal perselingkuhan bukanlah sesuatu yang layak dikenang, dimemorikan, apalagi dikekalkan, lalu dijadikan pelajaran. Kita tidak pernah alpa, apalagi lupa. Aksi porno yang sejatinya merusak jiwa bangsa bukanlah tangis derita, toh kalaupun banyak yang mencerca, itu hanyalah sementara. Kita adalah bangsa yang cenderung mengubur kesadaran kolektif kita, dan menganggap berita media hanyalah selingan acara. Disinilah, tesis Benyamin di atas bermuara dan ideologi arloji itu efektif bekerja.
Waktu dan Kejujuran
Tak ada jaminan kita mampu memprasastikan ingatan tanpa syahwat kesedihan, sad passion, dalam bahasa Spinoza. Karena ia selalu bersifat sementara. Bahkan mungkin semenit setelah menyaksikan berita media, kita sudah melupakannya. Ya, mestinya kita harus belajar pada waktu, yang bergerak melingkar sempurna seperti lingkaran planet, sebagaimana pernah diungkap Phytagoras dan Heraclitus, filsuf Yunani kuno itu. Planet adalah ekosistem yang berjalan sesuai fitrah kehidupan. Dan fitrah kehidupan adalah kejujuran.
Dengan berpijak pada pemikiran kedua filsuf Yunanai kuno di atas, kita akan mampu mengawinkan diktum Agustinus tentang kesadaran dalam Confession-nya dengan sikilikalitas logika waktu; bahwa ingatan, juga kesadaran seseorang, akhirnya tidak hanya terentang dengan ekspektasinya tentang masa depan, tetapi juga peristiwa masa lampau. Harapan tentang masa depan harus berpijak pada nalar kejujuran masa silam. Karena waktu adalah perubahan siklikal (cyclic change) dan perulangan sejarah, maka selalu ada kemungkinan yang tak mampu dijamah dengan hanya sekedar menggunakan rasionalitas manusia.
Jadi, biarkan saja Ariel dan Luna alpa. Dan birakan mereka tak mengakui perbuatannya. Karena, kelupaan pada masa lalu itu, kata Benyamin lagi, adalah tanda manusia yang telah kehilangan pathos, tujuan, dan juga sikap moral. Apalagi, tetap akan ada yang mencatatnya dalam sejarah ingatan banyak orang, bahwa waktu selalu mengungkapkan kejujuran.
Jika Edmund Husserl, pendiri filsafat fenomenologi itu mengatakan bahwa esensi waktu adalah kesadaran dan esensi kesadaran adalah waktu, maka sesungguhnya kita tak pernah benar-benar memiliki kekuatan kolektif
untuk selalu belajar pada waktu, apalagi untuk membangun ingatan kita tentang masa lalu. Memori kita seolah hidup dalam ritme tik-tok arloji yang selalu bergerak ke depan, tak pernah berputar arah. Hidup ala arloji mengandaikan apa yang ditinggalkan memang tak dilupakan, tapi sengaja ditinggalkan. Masa lalu masih ada, namun tak penting untuk selalu dibaca. Karena kita hidup dengan “pola pikir” arloji, maka kita kerap tak mampu menyimpan memori.
Ideologi arloji, hari-hari ini bisa kita temukan konteks pemaknaannya dalam kasus Ariel-Luna Maya- Cut Tari. Gambar pornoaksi mereka kini jadi menu hangat berbagai media, baik cetak maupun online. Di blog-blog, situs jejaring sosial, hampir semuanya membicarakan aksi heboh mereka yang meruncing menjadi objek diskusi, mulai para satpam di mall, tukang sapu di pasar, politisi, jagat dunia hiburan, bahkan kalangan akademisi di perguruan tinggi.
Luna Maya dan Ideologi Arloji
Tentu kita masih ingat bagimana Luna Maya marah, dan pelacur dijadikan senjata. ”Infotaiment derajatnya lebh HINA dr pd PELACUR, PEMBUNUH!!!! may ur soul burn in hell!!,” demikian bunyi tweet yang ditulis Luna. Tak puas meluapkan amarah, mantan presenter Dahsyat itu kembali menuliskan kalimat kasar di Twitternya. “Jadi bingung knp manusia skrg lbh kaya setan dibandingkan dengan setannya sendiri…apa yg disbt manusia udah jadi setan semua??” tulis Luna, kesal.
Publik terperangah. Bukan. Bukan karena Luna meluapkan geramnya pada infotainmen, melainkan diksi yang dia gunakan untuk mewakili umpatannya. Dengan pilihan farsa itu, Luna bukan saja memaki-maki infotainmen, melainkan, dan terutama, meludahi pelacur. Tak heran jika di Tegal, para pelacur pun gerah dengan umpatannya itu. Mereka melakukan aksi protes, bahkan membakar puluhan gambar Luna Maya. (Radar Tegal, Minggu, 20 Desember 2009)
Luna barangkali lupa bagaimana waktu mengajarkan pada kita bahwa dunia bukanlah Firadus, dan karena itu kita tak mampu menampik masa lalu. Dan Walter Benyamin benar ketika mengatakan itu. Masa lampau, bagi filsuf Jerman itu, bukan saja tak pernah tertinggal bahkan terus menghampiri, kadang hadir berulang. “Hanya sejarah-lah yang sesungguhnya dapat menerangkan, siapakah sesungguhnya manusia itu,” demikian dia berkata, menguatkan tesisnya tentang mazhab historisisme.
Tapi, sejarah semacam apa yang tak bisa diogahi itu? Benyamin punya jawaban: sejarah dengan kepedihan. Luna sadar apa yang menurut khlayak (diduga kuat) adalah perbuatan dirinya dengan Ariel sang vokalis Peterpan, sekitar 4 tahun yang lalu (VIVAnews, Selasa 15 Juni 2010) bukanlah penderitaan, bukan aib atau pun kesalahan. Maka wajar bila kemudian ”aksi goyangnya” akan mudah ia lupakan. Karena atraksi itu adalah pameran kesenangan, kegembiraan, kegenitan, dan juga, berahi; hal yang hanya dilakukan mereka yang lupa diri. “Sejarah yang selalu dikenang ini bukanlah sejarah yang penuh dengan romantika manis. Namun, apa yang selalu membayangi orang adalah ingatan akan penderitaan, memoria passionis.” Lanjut Benyamin.
Ketika dulu Ariel tersangkut kasus skandal dengan Sarah Amalia, ia pernah menolak bahwa Aurel bukanlah anak dari wanita yang dihamilinya itu. Tapi waktu selalu memberikan jawaban paling jujur dan apa adanya. Semuanya terkuak pasti; Ariel mengakui Aurel sebagai anak dan Sarah Amalia sebagai istri. Dan ketika fenomena Peterporn menguak kembali, kita seolah telah alpa dan memori kolektif kita terpaksa meraba, bahwa ”kisah miris” serupa pernah terjadi.
Barangkali Luna dan Ariel tak sepenuhnya salah. Mereka hanyalah represantasi masyarakat Indonesia yang menganggap skandal perselingkuhan bukanlah sesuatu yang layak dikenang, dimemorikan, apalagi dikekalkan, lalu dijadikan pelajaran. Kita tidak pernah alpa, apalagi lupa. Aksi porno yang sejatinya merusak jiwa bangsa bukanlah tangis derita, toh kalaupun banyak yang mencerca, itu hanyalah sementara. Kita adalah bangsa yang cenderung mengubur kesadaran kolektif kita, dan menganggap berita media hanyalah selingan acara. Disinilah, tesis Benyamin di atas bermuara dan ideologi arloji itu efektif bekerja.
Waktu dan Kejujuran
Tak ada jaminan kita mampu memprasastikan ingatan tanpa syahwat kesedihan, sad passion, dalam bahasa Spinoza. Karena ia selalu bersifat sementara. Bahkan mungkin semenit setelah menyaksikan berita media, kita sudah melupakannya. Ya, mestinya kita harus belajar pada waktu, yang bergerak melingkar sempurna seperti lingkaran planet, sebagaimana pernah diungkap Phytagoras dan Heraclitus, filsuf Yunani kuno itu. Planet adalah ekosistem yang berjalan sesuai fitrah kehidupan. Dan fitrah kehidupan adalah kejujuran.
Dengan berpijak pada pemikiran kedua filsuf Yunanai kuno di atas, kita akan mampu mengawinkan diktum Agustinus tentang kesadaran dalam Confession-nya dengan sikilikalitas logika waktu; bahwa ingatan, juga kesadaran seseorang, akhirnya tidak hanya terentang dengan ekspektasinya tentang masa depan, tetapi juga peristiwa masa lampau. Harapan tentang masa depan harus berpijak pada nalar kejujuran masa silam. Karena waktu adalah perubahan siklikal (cyclic change) dan perulangan sejarah, maka selalu ada kemungkinan yang tak mampu dijamah dengan hanya sekedar menggunakan rasionalitas manusia.
Jadi, biarkan saja Ariel dan Luna alpa. Dan birakan mereka tak mengakui perbuatannya. Karena, kelupaan pada masa lalu itu, kata Benyamin lagi, adalah tanda manusia yang telah kehilangan pathos, tujuan, dan juga sikap moral. Apalagi, tetap akan ada yang mencatatnya dalam sejarah ingatan banyak orang, bahwa waktu selalu mengungkapkan kejujuran.
*)Telah dimuat di Radar Madura pada rubrik "Dari Pesantren untuk Pembaca" (Rabu, 23 Juni 2010)
Post a Comment