kau yang kekalkan hujan
di matamu
sesekali melumuriku dengan hening yang gigil
tapi bukankah tandus jantunggku selalu
merindukan gerimis,
atau juga tangis?
/1/
cantik, masih ingat engkau tentang percakapan puisi kita? hari ini, membaca lagi nubuat hari-harimu, mengingatkan kembali pada kegagahanku dulu; waktu dimana tuhan telah mengalirkan seluruh kekuatannya pada rapal mantraku, hingga demikian lugas kuungkapkan betapa aku kangen kamu, sayang kamu, dan ingin –suatu waktu– menikmati malam dan hujan dalam rerimbun matamu.
/2/
aku takjub dengan seluruh kegaiban musim, cantik, karena dari rahimnya rindu terlahir sebagai kemarau. dan dadaku adalah kerontang yang pasti merindukan hujan bukan? tidak cantik, engkaulah hujan yang tak kenal musim. aku hanya rindu pecahan nafasmu menjadi arus dalam darahku, sebagai detak dalam jantungku. aku butuh hujan di matamu, lebih dari kering kemarau di mana pun..
/3/
tapi kita hanya bisa bersisihan, sayang. saling pandang. kita i'tikafkan saja rindu pada malam. waktu telah mengajariku bagaimana beradaptasi dengan keterpakasaan. maka wakafkan saja cinta pada tanah, dan biarkan hasrat habis dilumat resah. aku tak bisa beranjak. sungguh, nasib telah memenjarakanku pada masa lalu. dan engkau, sayang, adalah musimku, hadir kemudian, lahir di luar waktu...”
/4/
tidak, cantik. aku tidak ingin jadi musim. ritme rinduku tak kenal musim yang selalu sementara. tidak! musim telah menjadikan waktu demikian berjarak. engkau itu rindu. dan rindu, cantik, tak harus patuh pada waktu. bergegaslah, rajami aku dengan hunus matamu, hingga syakau jiwaku terkapar di maqam rindu.
mari, cantik. mari kita menari. akan kujamu malam-malammu dengan tarian purba, seperti ketika norma belum tercipta. hingga kelak kau benar-benar paham makna keheningan; kehilangan adalah makrifat kebersatuan.
dan aku paham, kehilangan selalu datang kemudian.
/5/
tapi menanti kehilangan, cantik, sungguh seperti melodrama adam saat digoda buah khuldi terlarang. dan menunggu kesepian, lebih hening dari tahajjud malam dengan denting air yang jatuh dari wajahmu yang diam. kukira aku kuat. tapi cinta, ternyata tak memberikan apapun kecuali kehilangannya. atau cinta memang lebih seperti cerita adam, yang melarutkan hawa, tergelincir, takut ditinggalkan...
/6/
ah, cantik, telah kesekian kali kau gigilkan nafasku dengan hujan. kini, tapak-tapak hujan itu menghampiri lagi rumah yang kubangun untukmu. kau kah yang datang itu? ah, aku sadar kini. rumahku bukan di sini.
hujan karam. malam kedinginan. engkau kah itu yang datang memintaku segera pulang? tapi kakiku telah kram, cantik. tak kuasa berdiri walau sedetik. lantaran matamu telah mengalirkan hujan, tumpah di jalan-jalan...
Surabaya, 22 Juni 2010
di matamu
sesekali melumuriku dengan hening yang gigil
tapi bukankah tandus jantunggku selalu
merindukan gerimis,
atau juga tangis?
/1/
cantik, masih ingat engkau tentang percakapan puisi kita? hari ini, membaca lagi nubuat hari-harimu, mengingatkan kembali pada kegagahanku dulu; waktu dimana tuhan telah mengalirkan seluruh kekuatannya pada rapal mantraku, hingga demikian lugas kuungkapkan betapa aku kangen kamu, sayang kamu, dan ingin –suatu waktu– menikmati malam dan hujan dalam rerimbun matamu.
/2/
aku takjub dengan seluruh kegaiban musim, cantik, karena dari rahimnya rindu terlahir sebagai kemarau. dan dadaku adalah kerontang yang pasti merindukan hujan bukan? tidak cantik, engkaulah hujan yang tak kenal musim. aku hanya rindu pecahan nafasmu menjadi arus dalam darahku, sebagai detak dalam jantungku. aku butuh hujan di matamu, lebih dari kering kemarau di mana pun..
/3/
tapi kita hanya bisa bersisihan, sayang. saling pandang. kita i'tikafkan saja rindu pada malam. waktu telah mengajariku bagaimana beradaptasi dengan keterpakasaan. maka wakafkan saja cinta pada tanah, dan biarkan hasrat habis dilumat resah. aku tak bisa beranjak. sungguh, nasib telah memenjarakanku pada masa lalu. dan engkau, sayang, adalah musimku, hadir kemudian, lahir di luar waktu...”
/4/
tidak, cantik. aku tidak ingin jadi musim. ritme rinduku tak kenal musim yang selalu sementara. tidak! musim telah menjadikan waktu demikian berjarak. engkau itu rindu. dan rindu, cantik, tak harus patuh pada waktu. bergegaslah, rajami aku dengan hunus matamu, hingga syakau jiwaku terkapar di maqam rindu.
mari, cantik. mari kita menari. akan kujamu malam-malammu dengan tarian purba, seperti ketika norma belum tercipta. hingga kelak kau benar-benar paham makna keheningan; kehilangan adalah makrifat kebersatuan.
dan aku paham, kehilangan selalu datang kemudian.
/5/
tapi menanti kehilangan, cantik, sungguh seperti melodrama adam saat digoda buah khuldi terlarang. dan menunggu kesepian, lebih hening dari tahajjud malam dengan denting air yang jatuh dari wajahmu yang diam. kukira aku kuat. tapi cinta, ternyata tak memberikan apapun kecuali kehilangannya. atau cinta memang lebih seperti cerita adam, yang melarutkan hawa, tergelincir, takut ditinggalkan...
/6/
ah, cantik, telah kesekian kali kau gigilkan nafasku dengan hujan. kini, tapak-tapak hujan itu menghampiri lagi rumah yang kubangun untukmu. kau kah yang datang itu? ah, aku sadar kini. rumahku bukan di sini.
hujan karam. malam kedinginan. engkau kah itu yang datang memintaku segera pulang? tapi kakiku telah kram, cantik. tak kuasa berdiri walau sedetik. lantaran matamu telah mengalirkan hujan, tumpah di jalan-jalan...
Surabaya, 22 Juni 2010
Post a Comment