Karena Hidup Adalah Membunuh!


"Sejak kecil aku paham bahwa hidup itu perlombaan. Jika kau tak cekatan, orang lain akan merebut peluang. Untuk lahir saja, kita harus mengalahkan lebih dari 300 juta sperma lain..."





Suatu hari, dengan langkah tegap dan sedikit arogan Rektor ICE (Imperial College of Engineering) berjalan menuju halaman kampus prestius itu. "Ini apa?" Tanyanya sembari memandang seluruh mahasiswa dengan nada menggelegar.

"Sarang, Pak!"

"Sarang siapa?"

"Sarang burung Cuckoo.."

Sang Rektor berhenti sejenak, menarik nafas.

"Burung Cuckoo tidak pernah membuat sarangnya sendiri. Mereka menaruh telur di sarang burung lain. Dan ketika anak mereka menetas...," Virus berhenti lagi, seolah sengaja menghentikan ucapannya. Lalu memandang ke seluruh mahasiswa. "Apa yang mereka lakukan pertama kali?", tanyanya kemudian, mantap.

"Mereka menendang telur lain dari sarang. Pecah! Kompetisi berakhir..."
Mahasiswa terkejut, terhenyak! Sang Virus menjawab pertanyannya sendiri dengan menggelegar!

"Hidup dimulai dengan membunuh. Itulah alam. Bersaing, atau mati!
Kalian semua bagaikan burung Cuckoo, dan mereka semua adalah telur-telur yang kalian singkirkan untuk diterima di ICE." Lanjutnya sambil menghamburkan berkas-berkas formulir pendaftaran mahsiswa kampus angker itu.

Ia kemudian memandang mahasiswanya dengan tatapan nyalang. "Jangan lupa, karena setiap tahun, 4000 lamaran datang ke ICE dan hanya 200 yang diterima. Kalian atau mereka! habis! Telur yang remuk!
Anakku sendiri melamar 3 kali, ditolak! Selalu!
Ingat, hidup ini perlombaan! Jika kau tidak cepat, seseorang akan mengalahkanmu dan melaju kencang meninggalkanmu..."

# # #

Cerita di atas hanyalah metaforika Viru Shastrabhuddi (Boman Irani), seorang Rektor kejam yang memimpin ICE lebih dari 32 tahun, untuk menyalakan api semangat pada jiwa mahasiswa barunya.Dan tentu saja film yang disutradarai Raj Kumar Hirani berjudul Three Idiots ini menuai banyak pujian di akhir tahun 2009. Seakan menjadi film tutup tahun termanis, film yang mengangkat tema dunia pendidikan ini mengalirkan dialog-dialog cerdas, kuat plus jenaka yang merangkai romantika keselurahan narasi cerita.

Film bergenre komedi ini bercerita tentang persahabatan tiga orang mahasiswa teknik yang memiliki bakat yang berbeda. Hanya Rancho lah yang memiliki bakat mengutak-atik mesin, sementara Farhan (R Madhavan) dan Raju (Sharman Joshi) masuk ICE karena pakasaan orang tua. Dikisahkan 10 tahun setelah mereka bertiga lulus, Farhan dan Raju bersama-sama mencari Rancho yang setelah wisuda menghilang tanpa  ketahuan rimbanya. Dalam pencarian itu lah film ini bergerak flash back bercerita ke masa-masa dimana mereka bertiga masih kuliah dulu, sewaktu mereka baru masuk ke kampus, suasana kuliah dimana ada Rektor Killer Viru Sahasrabuddhi  yang dijuluki Virus karena saking killernya , bahkan sampai banyak mahasiswanya yang depresi dan bahkan bunuh diri.

Jika ada orang yang paling tidak mau kalah di dunia ini, dialah Rektor Viru  yang menjadi tokoh antagonis dalam film 3 Idiots. Untuk menghemat waktu, dia menggunakan kancing baju elektrik dan dasi yang sudah terikat! Dia melatih pikirannya agar bisa menulis dengan dua tangannya dalam waktu yang bersamaan. Setiap jam 2 dia akan tidur sangat nyenyak dalam 7,5 menit sambil mendengarkan musik Opera. Govind, sang ajudan, selalu mengerjakan hal tidak produktif dalam 7,5 menit ini; cukur rambut dan potong kuku.

"Ia benar-benar manusia kompetitif yang pernah kami kenal. Jika ada yang melebihi dia sedikit saja, dia tidak akan dapat menerimanya.." ingat Farhan Qureshi, salah seorang diantara tokoh utama film Tree Idiots, yang potensial menjadi Photografer, tapi dipaksa ayahnya untuk masuk jurusan Teknik.

Maka jika hidup adalah pertarungan yang cenderung menekan, apalagi dalam dunia pendidikan yang penuh intrik dan tikaman, hanya Rancho (Amir Khan) saja barangkali yang merasa nyaman. Ketika mahasiswa baru lainnya dibuat mainan oleh para senior kampus, ia malah membuat mereka menjadi gusar dan bahkan dibuat bahan tertawaan. Ia adalah burung yang bebas di sangkar sang VIRUS, sementara yang lain hanyalah mesin yang tunduk di dalam lingkaran sistem.

Ya, ketika hampir seluruh mahasiswa ketakutan tidak lulus kalau melawan Virus, Rancho malah bertindak sebaliknya! Ia, dengan nalar yang orisinil  dan selalu menohok lawan bicaranya, berani melawan sistem pengajaran yang ditetapkan Virus, bahkan Rancho pula yang akhirnya merubah pola pikir sahabat-sahabatnya; Farhan, Raju dan juga Pia (Kareena Kapoor) yang merupakan putri dari Virus.

Bahwa yang terpenting dalam hidup adalah mendengarkan apa kata hati dan berusaha mengejar impian, bukannya malah terbelenggu oleh lingkungan sekitar kita, adalah salah satu pesan moral yang bisa diambil dari film ini. Kita seolah disuguhi kesadaran yang menjadi poin krusial dalam jalur pendidikan, bahwa kelulusan bukanlah tujuan utama, apalagi masuk kuliah hanya berlomba-lomba untuk mendapatkan angka-angka! Dan, itulah barangkali kritik kontrusktif yang ditawarkan film berdurasi 3 jam ini.

Jika Demikian, Masih Perlukah Pendidikan Formal?
Barangkali memang begitulah yang sedang terjadi dalam hiruk-pikuk euforia pendidikan kita. Pendidikan formal dengan segala sistem dan atribut-atribut yang menyertainya seolah menjadi mitos bagi kesuksesan karir. Banyak orang tua yang tidak mampu membiayai anaknya melanjutkan kuliah, lalu merasa bersalah dan menyesal mengapa  kemiskinan menjadi takdir hidupnya. Mereka kerap lupa bahwa Iwan Fals pernah menyindir formaslisasi pendidikan dengan gubahan lagunya Sarjana Muda. Ya, anak-anak mereka  telah menjadi sarjana muda yang resah mencari kerja.

Maka tidak berlebihan jika Ivan Illich, tokoh pendidikan kelahiran Wina itu menyatakan bahwa sekolah dengan segala sistem dan keteraturan yang diciptakan di dalamnya, membuat kita tidak mampu membedakan proses dari substansi. Begitu kedua hal ini –proses dan substansi– dicampuradukkan, muncullah logika baru: semakin banyak pengajaran semakin baik hasilnya; atau, menambah materi pengetahuan akan menjamin keberhasilan.

Konsekuensinya, murid dan bahkan juga sebagian besar mahasiswa menyamakan begitu saja pengajaran dengan belajar, naik kelas dengan pendidikan, ijazah dengan kemampuan, dan kefasihan berceloteh dengan kemampuan mengungkapkan sesuatu yang baru. Mereka dibiasakan untuk menerima pelayanan, bukannya nilai. Mereka dicetak untuk menjadi makhluk yang hanya bergulat mengejar angka dan diperlakukan tak lebih dari sekedar angka. Selepas mereka mendapatkan gelar sarjana dan menjalani ritual wisuda, tepatlah sindiran Iwan Fals di atas, ternyata mereka masih menghadapi permasalahan ketidaksiapan memasuki dunia kerja. Sebuah dunia di mana realita mengambil alih semua teori yang pernah diajarkan.

Dalam konteks inilah film yang pernah menyentak industri perfilman Bollywood ini dianggap sukses dan berhasil memeotret paradigma dan proses pendidikan yang timpang, lalu meluruskannya dengan adegan-adegan dan dialog-dialog yang memukau. Maka Rancho, dalam film yang mengaduk-aduk emosi penontonnya ini berusaha meyakinkan kedua orang sahabatnya; bahwa ketakutan tidak akan dapat kerja tidak sepatutnya menghantui perjalanan kuliahnya, apalagi kemudian tertekan dalam menghadapai ujian. Proses pendidikan harus ditempuh dengan penuh kesadaran akan potensi diri, dan tentu pula kesenangan dalam hati, tanpa harus tertekan oleh kontes saling bunuh-membunuh sebagimana yang didogmakan oleh sang Rektor dalam metaforika di atas....

Hidup: Antara Perlombaan dan Pembunuhan
Tentu saja film yang rilis di akhir tahun 2009 ini sudah basi untuk selalu dibahas. Tetapi saya menuliskan kembali review film tersebut bukan dengan harapan yang salah. Salah satunya adalah untuk melakukan refleksi etis tentang makna prestasi dan kompetisi, yang diakui mampu memberikan pengakuan bagi eksistensi manusia dan kehidupan. Bukankah esensi dari prestasi dan kompetisi adalah pengakuan? Bahkan Abraham Maslow dan Carl Rogers menganggapnya sebagai kebutuhan asasai dari aktualisasi manusia dengan teori Hierarchy of Needs-nya.

Maka dalam bahasa yang lebih ambisius dan sarkastik, sebenarnya saya hanya ingin menguak relasi ontologis antara prestasi hidup dengan naluri membunuh. Dan frasa 'naluri membunuh' jangan dipahami dalam pengertian tekstualis, melainkan pemaknaan metaforis. Bukankah dalam perspektif historis-teologis, tragedi pembunuhan Qabil-Habil adalah proses keberlangusngan kehidupan pasca Adam-Hawa?

Begitulah. Three Idiots telah mengajarkan kita makna pembelajaran yang efektif dan efesien. Pun juga tentang perlombaan dan pembunuhan! Bagi sobat blogger yang belum menontonya, dipersilahkan jika memang merasa penasaran. Kita akan dibawa pada situasi yang memaksa untuk tertawa terpingkal-pingkal, lalu menangis sedih, lalu tertawa lagi...

Akhirnya, senyampang masih ada bau pengumuman Kontes Berbagi Kisah Sejati, saya pribadi menghaturkan terima kasih kepada Mbak Anaz selaku penyelenggara, Denai Hati.Com selaku sponsor dan tentu Akhi Driman Al-Amin sebagai dewan juri. Terima kasih juga untuk seluruh sahabat blogger yang telah membaca, mengapresiasi kisah seorang Neng yang saya beri judul Jangan Panggil Aku Neng! Sunguh, tak ada nilainya penghargaan juara tanpa kehadiran sahabat sekalian. I love U, Sobat....

15 JUNI 2010

Post a Comment

Previous Post Next Post