Villa Kartini, Pacet, Mojokereto: 23 April 2010
untuk sahabat-sahabati PMII Surabaya Selatan
akan kubawakan kelak selaksa kisah untukmu, sahabatku, tentang lembar-lembar sejarah yang tak kunjung usai kita gubah. mestinya harus ada epilog yang barangkali akan kita kenang meski kerinduan primordial yang kita bangun tak pernah usang. kita selalu bicara tentang nurani, tapi sungguh kita tak pernah benar-benar paham makna tragedi.
berkali-kali kukatakan bahwa cerita kita hanyalah lorong pengap dengan dinding-dinding labirin yang kokoh, hingga setiap suara yang terpantul hanyalah dengung yang bisu, dan tentu juga semu. tapi kau terlanjur percaya pada keabadian, meski dengan nalar kerinduan yang membingungkan.
ah, aku tak percaya bahwa kau bisa berlaku sepengecut itu! kau terlalu bangga dengan defenisi yang kau ciptakan sendiri, meski tanpa premis dan distingsi yang jujur. silogisme yang kita rangkai hanyalah pergumulan euforia dengan kekerdilan paling nista. aku tak pecaya, bahwa kita telah benar-benar buta!
sahabatku, sejatinya kita sedang terjerat sindrom fanatisme akut yang berujung pada luka nganga. tapi kau terlanjur bernyanyi ria, dengan seteguk ekstasi yang membuat jiwamu mati rasa. maka bisa saja kau membaca ceritaku dengan kebencian, lalu menafsirkannya dengan musi tak percaya. tidak apa-apa, meski bahkan kau menganggapku sebagai pasien pesakitan di rumah sakit jiwa atau para pengkhianat yang kelak akan masuk neraka.
tapi aku yakin kau tak mungkin memiliki paradigma sekejam itu. ideologi kita humanis, progresif, dan tentu ekspresif, hiburku sejak dulu. dengan seperangkat pedoman etis-aksiologis, mestinya kita mengerti makna tasamuh dan ta'adul yang kita junjung tinggi, bahkan mungkin telah kita jadikan ajaran suci.
tapi sepertinya apa yang sering didengungkan oleh para orator ulung bahwa antara "das sein" dengan "das sollen" cenderung berdiri secara diametris adalah benar, termasuk juga realitas kehidupan kita. dan aku tak bisa berkata apa-apa...
* * *
sahabatku, kutulis cerita ini ketika hujan merintik pelan-pelan, lalu sesekali hinggap di pucuk-pucuk dedaunan di kebun bunga sebelah kamar. aku teringat ketika kita berproses di pelatihan kader dasar dulu, hampir empat tahun yang lalu. waktu itu kita adalah mahasiswa semester dua, masih lugu, dengan sedikit senyum culun yang sungguh menggemaskan. juga kuingat bagaimana kobaran semangat kita saat camping di Bromo, meski gigil demikian menggigit dan meremukkan tulang-tulang kita. dan sekarang, kita sudah semester akhir bukan?
pernah kulihat kembali video hasil rekaman salah seorang sahabat kita yang kreatif, dan sungguh, aku tak percaya bahwa waktu berjalan demikian cepat. meninggalkan setiap detak peristiwa yang tak pernah kita duga. sekarang, adik-adik kita sedang berproses sama seperti kita dulu, menyanyikan mars PMII bersama-sama dengan sedikit kekacauan ritme lagu yang sebenarnya tak lucu.
teringat soliditas kebersamaan kita, jantungku teriris-iris. sungguh, tak ada yang lebih sengsara di dunia ini ketimbang meninggalkanmu, sahabatku. itulah yang sering kusesali. kenapa harus ada rasa memiliki jika keterpisahan sudah menjadi janji? harusnya kita sadar, lalu menghayatinya dengan totalitas kepasrahan; bahwa memiliki dan kehilangan adalah dua sisi kehidupan.
maka menuliskan kisahmu adalah kewajibanku, meski mungkin kau tak menerimanya dengan lapang dada. tak apa, karena kuceritakan semuanya bukan dengan harapan yang salah. aku paham benar makna sebuah perbedaan, pun juga pertentangan. bahkan saat detik-detik akhir perpisahan kita, sungguh, tak akan pernah kusalahkan indahnya pertemuan...
ya, ya...harusnya kita akhiri penjara fanatisme ini, agar kesejatiaan hidup kita tak terkotori oleh dendam yang terbawa sampai mati...
Si Pujangga lagi ngisi pendalaman nih... |
akan kubawakan kelak selaksa kisah untukmu, sahabatku, tentang lembar-lembar sejarah yang tak kunjung usai kita gubah. mestinya harus ada epilog yang barangkali akan kita kenang meski kerinduan primordial yang kita bangun tak pernah usang. kita selalu bicara tentang nurani, tapi sungguh kita tak pernah benar-benar paham makna tragedi.
berkali-kali kukatakan bahwa cerita kita hanyalah lorong pengap dengan dinding-dinding labirin yang kokoh, hingga setiap suara yang terpantul hanyalah dengung yang bisu, dan tentu juga semu. tapi kau terlanjur percaya pada keabadian, meski dengan nalar kerinduan yang membingungkan.
ah, aku tak percaya bahwa kau bisa berlaku sepengecut itu! kau terlalu bangga dengan defenisi yang kau ciptakan sendiri, meski tanpa premis dan distingsi yang jujur. silogisme yang kita rangkai hanyalah pergumulan euforia dengan kekerdilan paling nista. aku tak pecaya, bahwa kita telah benar-benar buta!
sahabatku, sejatinya kita sedang terjerat sindrom fanatisme akut yang berujung pada luka nganga. tapi kau terlanjur bernyanyi ria, dengan seteguk ekstasi yang membuat jiwamu mati rasa. maka bisa saja kau membaca ceritaku dengan kebencian, lalu menafsirkannya dengan musi tak percaya. tidak apa-apa, meski bahkan kau menganggapku sebagai pasien pesakitan di rumah sakit jiwa atau para pengkhianat yang kelak akan masuk neraka.
tapi aku yakin kau tak mungkin memiliki paradigma sekejam itu. ideologi kita humanis, progresif, dan tentu ekspresif, hiburku sejak dulu. dengan seperangkat pedoman etis-aksiologis, mestinya kita mengerti makna tasamuh dan ta'adul yang kita junjung tinggi, bahkan mungkin telah kita jadikan ajaran suci.
tapi sepertinya apa yang sering didengungkan oleh para orator ulung bahwa antara "das sein" dengan "das sollen" cenderung berdiri secara diametris adalah benar, termasuk juga realitas kehidupan kita. dan aku tak bisa berkata apa-apa...
* * *
sahabatku, kutulis cerita ini ketika hujan merintik pelan-pelan, lalu sesekali hinggap di pucuk-pucuk dedaunan di kebun bunga sebelah kamar. aku teringat ketika kita berproses di pelatihan kader dasar dulu, hampir empat tahun yang lalu. waktu itu kita adalah mahasiswa semester dua, masih lugu, dengan sedikit senyum culun yang sungguh menggemaskan. juga kuingat bagaimana kobaran semangat kita saat camping di Bromo, meski gigil demikian menggigit dan meremukkan tulang-tulang kita. dan sekarang, kita sudah semester akhir bukan?
pernah kulihat kembali video hasil rekaman salah seorang sahabat kita yang kreatif, dan sungguh, aku tak percaya bahwa waktu berjalan demikian cepat. meninggalkan setiap detak peristiwa yang tak pernah kita duga. sekarang, adik-adik kita sedang berproses sama seperti kita dulu, menyanyikan mars PMII bersama-sama dengan sedikit kekacauan ritme lagu yang sebenarnya tak lucu.
teringat soliditas kebersamaan kita, jantungku teriris-iris. sungguh, tak ada yang lebih sengsara di dunia ini ketimbang meninggalkanmu, sahabatku. itulah yang sering kusesali. kenapa harus ada rasa memiliki jika keterpisahan sudah menjadi janji? harusnya kita sadar, lalu menghayatinya dengan totalitas kepasrahan; bahwa memiliki dan kehilangan adalah dua sisi kehidupan.
maka menuliskan kisahmu adalah kewajibanku, meski mungkin kau tak menerimanya dengan lapang dada. tak apa, karena kuceritakan semuanya bukan dengan harapan yang salah. aku paham benar makna sebuah perbedaan, pun juga pertentangan. bahkan saat detik-detik akhir perpisahan kita, sungguh, tak akan pernah kusalahkan indahnya pertemuan...
ya, ya...harusnya kita akhiri penjara fanatisme ini, agar kesejatiaan hidup kita tak terkotori oleh dendam yang terbawa sampai mati...
Post a Comment