Saat Kita Perlu Meneteskan Air Mata

: cerita akhir tentang bintang

/1/
akhirnya perjalanan kita sampai juga di muara, saat gerimis tiba-tiba mengecup rambutmu yang basah dengan rindu yang berjelaga. kubayangkan kita adalah burung camar yang masih belajar terbang, lalu sesekali mendoakan pertemuan di ujung pantai. tapi deru gelombang terlanjur mengayuh sampanmu ke tengah samudera, meninggalkan gelora mimpi yang tersisa.


/2/
tapi setiap peristiwa selalu kusangsikan dengan koreografi pengembaraan adam. sebab tak ada yang perlu diragukan untuk memilih bilah rusuk yang hilang, meski lalu kau temukan di kantor pegadaian, apartemen mewah atau swalayan. maka aku tak lagi menjemputmu, meski telah lama kunantikan, bahkan sejak engkau belum paham benar makna pertemuan. dan jarak, pada akhirnya kuhancurkan dalam hening kerinduan, yang mengerat jantungku perlahan-lahan...

/3/
sejak pertama kali kupuja bintang, ku dengar kau bergumam; "aku telah lama mati suri, jauh sebelum aku tak sanggup menggigit nadiku sendiri". aku tersedak, dan melodrama ketakberdaayaan yang menyesakkan dada kita adalah sinonim kehidupan. maka aku kembali bertanya, mengapa kau menyukai masa lalu, sejak kerlap bintang yang sering kupuja dalam sajakku adalah pesan yang tersesat dan terkatung sebelum akhirnya tiba hanya untuk mengabarkan; "aku menua, pun barangkali telah tiada."

/4/
maka harusnya aku lelah belajar untuk memiliki bintang, meski pada cahayanya yang berpendar. walau sejak beribu abad silam, kuharapkan pertemuannya di tepian pantai, di mana angin menghibur bersama ombak lirih. atau paling tidak, di sebuah telaga dengan sedikit taman yang sejuk, dan semilirnya pelan-pelan mengingatkan kita pada buah khuldi terlarang.

/5/
sekarang, saat kita perlu meneteskan air mata, bukankah kini adam ada pada dirimu, terpuasakan oleh cintaku. pun dengan pilu rindu, yang menusuk-nusuk syaraf tubuhku setajam sembilu.

Surabaya, 15 April 2010 Surabaya, 15 April 2010

Post a Comment

Previous Post Next Post