Rihlah Ubudiyah: Catatan Perjalanan

Dulu, dulu sekali saya pernah membaca sebuah opini di Jawa Pos yang mengangkat persolan sengketa Ligitan dan Sipadan. Tanggal, bulan dan tahunnya saya lupa, yang jelas sudah hampir sepuluh tahun yang lalu. Saya hanya ingat judul opini itu, yakni Revitalisasi Wisata dalam Agama. Waktu itu saya masih di pondok, masa di mana ghirah membaca begitu menyala-nyala. Mulai dari majalah Annida, Sabili, Hidayatullah sampai koran seperti Jawa Pos selalu saya nikmati meski membacanya harus bergantian dan berdri di depan Mading yang sesak oleh para santri, terlebih pada hari Minggu.


Narasi opini yang hendak dibangun penulis itu, seingat saya, bukan pada persoalan analisa sistemik dalam memperbincangkan bagaimana sengketa kedua pulau yang katanya indah itu mampu terselesaikan dari jalur yang mulai meruncing menjadi mudah, tetapi lebih pada bagiamana nalar agama memandang objek wisata (Sipadan dan Ligitan) sebagai sebuah bentuk penghayatan nilai-nilai kauniyyah-ubudiyyah; bahwa tempat wisata tidak serta merta hanya menjadi tontonan fisikal semata, melainkan lebih dari itu, ia bisa menjadi momentum relaksasi batin yang mulai kerontang. Maka tak heran bila para bos-bos besar dan karyawan perusahaan seringkali menghabiskan akhir pekan dengan melakukan perjalanan wisata, baik ke villa-villa di puncak gunung maupun ke wisata bahari yang mampu membuat pikiran menjadi rileks dan enjoy.


Rihlah Ubudiyyah; Relaksasi Batin
Dari konseptualisasi wisata dalam perspektif agama itu, lahirlah istilah Rihlah Ubudiyyah, yang pemakanaannya kurang lebih sebagai perjalanan (yang mengandung) ibadah. Bahwa perjalanan yang dilakukan dalam rangka kontemplasi batin diyakini sebagai bentuk ibadah yang mendatangkan pahala. Ada bentuk tadabbur (berpikir, menghayati) yang bisa dilakukan dengan perjalanan, sehingga rutinitas kehidupan yang mulai menjemukan mampu diobati dengan proses rihlah ini. Ayat-ayat Qur'an pun banyak yang menerangkan tentang urgensi perjalanan untuk memperdalam pengalaman. Dan pemerintah yang cerdas, kemudian menciptakan istilah Wisata Religi sebagai bentuk afirmasi plus legitimasi bahwa objek wisata tidak selamanya mendatangka nilai kemaksitan, tetapi juga menyimpan unsur ibadah.

Gambaran di atas, paling tidak telah menjadi spirit bagi saya dan keenam sahabat saya untuk melakukan rihlah ubudiyyah, sebuah perjalanan wisata dengan tujuan yang tidak sekedar jalan-jalan, melainkan ada nilai pahalanya. Dengan mengunjungi makam para wali, kita akan teringat semangat perjuangan mereka ketika menyebarkan ajaran agama Islam, dan tentu kita juga akan ingat mati yang menjadi teman paling setia yang selalu menunggu kita. Bagitu kira-kira landasan pemikirannya.

Dari WBL Hingga Gua Akbar
Dengan pertimbangan yang matang, tepat pada hari Kamis, 8 April 2010, kami bertujuh berangkat melakukan perjalanan ke wisata-wisata religi yang ada di Jawa Timur. Dari Sunan Ampel Surabaya sampai ke Sunan Bonang di Tuban. Kata orang-orang, perjalanan kami masih belum lengkap, karena makam para wali yang berjumlah sembilan dipangkas menjadi lima, munculah istilah Ziarah Wali Lima. Ini karena selain pertimbangan waktu, yang paling krusial juga persoalan biaya.

Dimulai dari makam Sunan Drajat di Gersik, perjalanan ini amat mengasyikkan sekaligus menjadi bahan tertawaan. Dengan ber-"gagah-gagah ria", kami sengaja menyewa mobil XENIA, dengan harga 250 ribu selama 24 jam alias sehari semalam. Tapi ketika perut terasa lapar, kami malah kebingungan mencari tempat makan yang paling murah. "Ah, malu-maluin, rek. Mosok mobilnya XENIA tapi makannya malah cari yang murah-murah...", kata salah seorang teman saya yang paling gokil. Teman-teman yang lain tertawa. Maklum, mahasiswa perantauan yang kere lutung alias banyak hutang terkatung-katung. :D

"Gini aja, nanti mobilnya parkir di tempat yang jauh, biar nggak ditarget sama pemilik warungnya. Kalau melihat kita pakai mobil, biasanya harganya langsung mahal..." sergah Ghani dengan dialek Madura-nya yang kental. "Dasar anak kepulauan, belum apa-apa sudah mau ngacir...", sambung teman yang lain. Lalu meledaklah tawa kami yang membuat perut tambah lapar. Maka keluar dari Sunan Giri, kami langsung mencari warung dengan tarif paling murah.

Perjalanan pun dilanjutkan menuju Sunan Derajat. Tapi karena memang tidak paham betul rute jalan yang paling mudah dan dekat, maka kami melewati jalur tengah Gersik-Lamongan, dengan mata celingukan kanan-kiri karena menerka-menerka jalan mana yang akan ditempuh. Setahu saya, jalan yang dekat adalah melalui jalur Pantura; dari kecamatan Sidayu, Dukun, lalu Paciran. Akan tetapi karena sudah terlanjur lewat jalur tengah, maka utnuk berbalik arah sepertinya terlalu jauh. Untungnya, setelah melewati kampus Unisda terdapat palang hijau petunjuk jalan dengan tulisan Paciran-Wisata Bahari Lamongan. Dan tanpa panjang lebar, kami pun mengikuti lajur kanan untuk melewati pertigaan itu. Akhirnya sampai juga kami di makan Sunan Drajat sekitar jam 11.00 siang, setelah melewati jalan yang bergelombang karena banyak yang rusak dan berlubang sana-sini.

Secara demografis, area wisata religi Sunan Derajat tidak kalah menarik ketimbang Sunan Giri yang berada di puncak bukit, dengan padepokan yang jumawa dan museum mini yang terawat dengan baik. Jika Sunan Giri menawarkan pesona wisatanya dengan undakan tangga yang konon jika dihitung oleh para peziarah hasilnya tidak akan sama, maka Sunan Derajat menyuguhkan panorama alam pegunungan yang asli-alamiah. Menghadap ke timur dari area parkir, kita akan menyaksikan lukisan kapur-kapur putih yang bergantungan di dinding tebing. Indah dan menakjubkan, seindah tebing-tebing yang sering dilukiskan para pujangga Cina dalam cerita silat Kho Ping Hoo.

Disambut Kepiting Raksasa
Keluar dari komplek Sunan Derajat hati kami kegirangan karena menurut Zainal Abidin, sang ketua rombongan, kami akan langsung menuju Wisata Bahari Lamongan (WBL), tempat di mana Kepiting raksasa selalu ramah menyambut para pengunjung yang akan masuk area wisata. Dan ternyata benar, dari jauh kami melihat Kepiting raksasa itu menggenggam erat pintu gerbang, entah sampai kapan ia akan seperti itu. Sepertinya, ia telah menjadi ikon WBL ini dalam meakukan branding ke hati para pengunjung. Kepiting raksasa adalah maskot Wisata Bahari Lamongan yang katanya telah menjadi wisata favorit setelah JATIM PARK di kota Batu, Malang.

Akan tetapi sayang beribu sayang, kami tidak sempat menyentuh bibir pantai yang menggairahkan itu. Kami hanya menikmatinya dari lantai atas Mall yang ada di area wisata. Alasannya klasik; kekurangan dana!
Lalu sesekali berjalan-jalan, pura-pura melihat-lihat barang yang barangkali dapat dibawa pulang. Sesekali kami juga bertanya harga souvenir, meski tak ada niat sedikitpun untuk membelinya. Dasar para wisatawan kere! Seru saya waktu itu. "Wah, karcis masuk saja sudah menghabiskan jatah makan seminggu nih...Gak usah masuk lah!" lagi-lagi kata Ghani, sang makhluk paling lucu itu. Maka, berkedok solidaritas persahabatan, kami hanya bisa memesan Kopi hangat dan duduk santai di Caffe, padahal alasannya hanya kekurangan logistik! Haha...

Lokasi paling jauh yang menjadi taget kunjungan adalah Sunan Bonang di Tuban. Karena berdekatan dengan wisata Gua Akbar, kami pun mampir ke gua yang memiliki terowongan berliku-liku dengan pagar besi ini. Di terangi remang-remang cahaya lampu, suasana dalam gua menambah daya magis, dengan suara burung Walet yang menempel di atap-atap gua. Maka kesempatan itu tidak kami sia-siakan dengan berphose bareng sebagai kenangan. Sebelum pulang kami juga mampir ke Masjid Agung kota Tuban, yang berdampingan dengan area makan Sunan Bonang.

Berikut photo-photo hasil rihlah ubudiyyahnya. Narsis dikit nggak apa deh..

Mengabadikan Kepiting raksasa



makan dulu di warung kecil depan Sunan Giri


Museum Sunan Derajat



di halaman depan Masjid Agung Tuban


Tangga masuk menuju Goa Akbar







Di ruang dalam Goa Akbar


Catatan Tambahan:

Mumpung masih ingat, dan semoga tidak terlambat, saya posting award dari sahabat Agustin Wilujeng untuk ulang tahun blognya. Dan untuk Agustin, mohon maaf karena terlambat memajang awardnya ya...


Juga award dari sahabat Ninnita, award kasih sayang-nya, sengaja saya posting sembari masih ingat. ohon maaf juga untuknya, karena waktu itu saya harus mudik pulang kampung dan tak sempat memajangnya.

Dan untuk para sahabatku yang lain, barangkali ketika saya pulang, ada award yang diberikan untukku, ohon untuk meninggalkan komentar di postingan ini. 11 April 2010

Post a Comment

Previous Post Next Post